Menulis = Terapi Emosi

Beberapa waktu belakangan ini saya lagi suka nonton kajian dari Ustad Bendri Jaissyurahman, seseorang yang diberi ilmu oleh Allah swt tentang rumah tangga Islam termasuk didalamnya ilmu parenting dan how to be a good wife, how to be a good husband dengan role mode yang tepat sesuai sirah nabawiyah, dan masih banyak lagi yang belum ditonton. 

Disitu saya belajar tentang bagaimana sifat wanita secara general, dengan tujuan mengenal, sadar, dan memperbaiki apa-apa yang belum saya punya sebagai seorang wanita akhir zaman. Intinya Ustad Bendri menyampaikan kira-kira begini kalau saya rumuskan : wanita itu bersifat lebih perasa tapi biasanya tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan tepat. Alias emosinya kurang stabil, baik itu marah atau sedihnya. Dipikir, tul uga yah. Wanita itu perasa, saking bapernya kemungkinan terjadi dua hal, dia lepaskan semua unek-uneknya tanpa pikir panjang, atau meredam emosi agar tidak menyakiti orang yang dicintainya. Akibat dari itu adalah adanya wanita yang cerewet, langsung ngomel dan marah-marah kalau ada yang tidak disukai/sesuai harapan, ada juga yang gampang nangis hanya karena masalah sepele misalkan, karena sudah terlalu memendam perasaannya. 

Memang sifat alami wanita yang "bengkok" ini bukan sebuah kekurangan, tapi sebagai fitrah yang kalau terlalu dipaksa untuk lurus dia akan patah namun bila dibiarkan dia akan tetap bengkok. 

Dalam kajian tersebut Ustad Bendri mengungkapkan bahwa normalnya wanita mengeluarkan 20ribu kata per hari, which is jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Bahkan yang paling pendiam sekali pun pengeluaran kata-katanya tetap mungkin lebih banyak. Bagaimana jika kasusnya wanita tidak dapat mengeluarkan emosinya dengan tepat? either menjadi cerewet atau diam banget. Salah satu caranya adalah dengan menulis. Ternyata memiliki dan mengisi diary setiap harinya itu baik loh, bagi mereka yang kesulitan untuk mengungkapkan perasaan atau tidak ada tempat atau teman bagi mereka untuk berbagi sampah emosi. Jangan kayak saya yang kerjanya beli diary tapi isinya setaun sekali buat resolusi semu doang yah :)

Menulis adalah obat bagi jiwa, media untuk terapi dan menetralisir emosi khususnya emosi negatif. Gimana kalau saya yang ga bisa nulis? itu lah guna diary pribadi, tidak harus di blog atau sosmed yang menjadi konsumsi publik, tapi tulis apa pun yang kamu rasakan di diary tanpa perlu memikirkan bahasa yang sempurna. 

Kadang tidak selalu ada ruang bagi kita untuk berbagi, karena setiap manusia punya problem dan sudut pandangnya masing-masing dan terlalu sibuk dengan urusan pribadi. Lebih lagi bukan kah saat seseorang ingin mengeluarkan "sampah emosi" tersebut yang diinginkan hanyalah mengeluarkannya saja? bukan ingin mendapat masukan baru yang bisa jadi malah menambah masalah dalam diri. Biasanya kalau orang ingin bercerita, siapa pun baik laki mau pun wanita, yang diinginkan hanyalah didengar dan dipahami. Jika itu baik, maka dukungan dan pembelaan atau tanggapan positif menjadi moodbooster bagi yang bercerita. Sedangkan common problem saat ini adalah kurangnya skill mendengarkan, mendengar bukan untuk berempati/memahami tapi malah untuk merespon balik bahkan menimpali. That's worse! 

Jadi intinya, emosi itu tidak untuk dikeluarkan sembarangan tapi juga tidak baik bila dipendam. Keluarkan dengan cara yang tepat, menulis salah satunya. Saya yang nulis di blog dari kemarenan pun baru tahu fungsi menulis ternyata sedahsyat ini. Penting sekali untuk digarisbawahi, tulislah tulisan yang baik bila berada di ranah publik (sosmed), bila emosi sedang sangat negatif dan ingin menulis sesuka isi hati hindari sosmed dan tulis saja di diary, memo, atau Microsoft word di komputer masing-masing saja.

Semoga bermanfaat :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Cintai Aku Apa Adanya

Tahun Baru, Hati Baru

Memori Desember